Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Kalau Cara Mendidik Anak Kita Selama Ini Ternyata Salah?


Ada masanya ketika anak-anak biasa dididik dengan keras. Jika mereka melakukan kesalahan, orang tua tidak segan mendisiplinkannya dengan rotan, tamparan, bentakan, atau hukuman fisik yang berat. Begitu pula guru-guru di sekolah.

Cara mendidik semacam ini diharapkan menjadikan anak tahan banting, kuat secara fisik dan mental, serta hormat dan mengerti tata krama.

Lalu, tren berganti. Anak kemudian dididik dengan pengertian, empati, dan komunikasi. Hukuman-hukuman yang cenderung menyiksa atau mempermalukan sangat dihindarkan. Bila guru di sekolah melakukan itu, sekalipun merupakan hukuman atas kesalahan berat si anak di sekolah, orang tua akan memprotesnya.

Cara mendidik semacam ini diharapkan menjadikan anak tumbuh pemberani, penuh empati, dan tidak pernah menganggap kekerasan atau teror sebagai solusi bagi permasalahan-permasalahannya.

Dari pengamatan Homerie, hingga hari ini, dua metode yang seperti saling berlawanan ini memiliki penganut fanatik masing-masing. Manakah yang lebih benar?

Atau, bisakah kita bersamaan menerapkan kedua metode ini dengan mengambil manfaat dan membuang efek negatif masing-masing metode?

Atau, jangan-jangan, akan ada metode pendidikan yang lebih bagus lagi dalam lima tahun ini? Haruskah kita menunggu saja para pakar parenting dan pendidikan merilis metode termutakhirnya?

Ketika Mendidik Anak Bukan Lagi "Jika A Maka B"

Di zaman yang berubah serbacepat ini, tantangan manusia adalah supaya cepat pula merespon segala sesuatunya, tentunya dengan solusi tepat. Sebagai orang tua, mau tidak mau, kita harus menyiapkan generasi yang mampu fleksibel beradaptasi dengan keadaan, agar mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dengan cepat dan tepat.

Dalam kondisi serba tidak pasti ini, kata kuncinya adalah “fleksibilitas” dan “kemampuan adaptasi”. Jangan lagi beracuan pada metode yang turun-temurun dipakemkan generasi sebelum kita. Sebab, zaman berbeda, tantangannya pun berbeda.

Belum tentu anak-anak kita akan berjibaku dalam industri yang menuntut kedisiplinan ala militer, seperti masuk kerja pukul 8 lalu pulang pukul 17, mengenakan kemeja yang dimasukkan ke celana bersabuk, belajar untuk memperoleh beasiswa dan ijazah sebanyak-banyaknya atau setinggi-tingginya, dan seterusnya.

Kehidupan tidak selalu berjalan seperti itu. Zaman ini, apalagi zaman ke depannya, sungguh “kacau” dan sulit diprediksi. Banyak sekali perubahan tatanan yang barangkali tidak pernah kita sangka-sangka sepuluh, bahkan, lima tahun lalu. Belum lagi kalau kita menilik revolusi cara berpikir orang-orang zaman sekarang. Nilai-nilai yang dulu diyakini bagus, belum tentu sekarang masih dinilai bagus.

Seorang teman di Facebook pernah menceritakan, ada temannya yang dulu dididik dengan metode hemat dan ketat oleh orang tuanya, dengan harapan dia mampu bersikap sederhana dan tidak neko-neko sepanjang hidupnya. Apa yang terjadi sekarang? Dia hidup tetap sederhana. Dengan kata lain yang lebih lugas: hidupnya pas-pasan!

Sementara, ceritanya, teman-temannya yang lain yang terbiasa dimanja, setiap minta uang ke orang tua mereka selalu diberi, saat ini hidupnya justru berkelimpahan.

Ini tentu berlawanan dengan keyakinan lama kita, bahwa pendidikan yang serbadisiplin akan membuat seseorang tumbuh menjadi kuat dan sukses di masa depan. Sedangkan anak-anak yang terbiasa dimanja akan tumbuh melempem dan berpotensi jadi beban masyarakat kelak.

Setidaknya, dari pengamatan teman kuliah saya yang juga teman Facebook itu, kenyataannya sudah tidak sesederhana "jika A maka B" lagi. Analisisnya, semua ini cenderung berkaitan dengan pembiasaan dan pola pikir.

Temannya yang sedari kecil terbiasa melihat uang datang dengan mudah, saat dewasa, dia menjadi manusia yang "santai" dan positif. Justru karena sikap itulah, uang jadi tertarik menghampirinya tanpa henti.

Sedangkan teman-temannya yang sejak kecil terbiasa didamprat, “Minta uang lagi?! Kamu pikir bapakmu ini punya kebun uang, apa?!” akan merasa bahwa uang memang sesuatu yang mewah. Tidak pantas mereka dapatkan dengan mudah. Pola pikir ini terbawa sampai dewasa. Akibatnya, uang benar-benar “merasa gengsi” berkawan dengan mereka. Hidup pun jadi pas-pasan.

Aura negatif membuat nasib menjadi negatif. Sikap positif membuat nasib menjadi positif. Nasib seseorang bergantung pola pikirnya sendiri. "Whether you think you can or you can't, you're right," kata Henry Ford.

Bukan, ini bukan hasil penelitian sosial atau psikologi yang ilmiah. Namun, kita tentu bisa melihat bahwa ini sangat masuk akal. Pada gilirannya, ini membawa kita ke pertanyaan awal, "Bagaimana seharusnya kita mendidik anak?"

Haruskah anak dimanja dengan mempermudah segalanya agar dalam benaknya tertancap sikap positif terhadap kehidupan? Atau membuat segalanya sulit baginya agar dia kuat dan terbiasa mencari jalan keluar yang kreatif?

Tentu, ini masalah yang terlalu kompleks untuk dibawa ke dalam satu kesimpulan tunggal. Banyak variabel yang memengaruhi. Dua di antaranya adalah latar belakang orang tua dan karakter si buah hati.

Semuanya kembali ke keputusan orang tua. Apapun itu, sebaiknya kita selalu merujuk kepada tren perkembangan zaman yang sulit diprediksi ini. Ada baiknya, kita menyiapkan anak untuk mampu menerima dan beradaptasi dengan apapun yang terjadi terhadapnya.

Maka, Berjalanlah di Tengah-tengah

Almarhum Presiden Soeharto pernah memopulerkan filosofi Jawa, "Ojo gumunan, ojo getunan, ojo kagetan, ojo aleman." Artinya, kita seharusnya tidak mudah merasa heran, kecewa, terkejut, dan kolokan. Filosofi yang bagus, bukan, untuk kita suntikkan ke otak anak-anak kita?

Tanamkan untuk jangan manja kalau punya hajat atau cita-cita, terus kejar! Namun jangan heran kalau apa yang dikejarnya selama bertahun-tahun itu ternyata tidak tercapai, atau ada teman yang tidak segetol dia dalam berusaha, malah mencapainya duluan. Jangan mudah kecewa kalau kita bukanlah pemenang. Tetapi jangan sombong atau kaget ketika kita ternyata ditakdirkan sebagai pemenang.

Berjalanlah di tengah-tengah. Bersiaplah untuk menerima apapun yang terjadi. Bagaimana cara melatih sikap ojo gumunan ini? Jalanilah keduanya!

Misalnya, biasakan anak-anak makan di depot murahan. Tetapi juga pastikan mereka mengetahui table manner di restoran mewah. Sehingga ketika ada yang mengajak mereka bersantap siang di rumah makan kelas atas, mereka tidak ciut nyali. Dan ketika ada yang mengajaknya makan di warung kaki lima, mereka tidak canggung atau tampak menderita.

Biasakan anak-anak bergerah-gerah naik angkutan publik atau berjalan kaki untuk menuju suatu tempat. Namun, sesekali ajak pula mereka naik pesawat, sehingga tahu prosedur-prosedur bandara, boarding, dan etika penumpang penerbangan. Naik apapun, pastikan mereka selalu tertawa aktif dan bersikap positif.

Didik anak-anak untuk mampu berbicara formal dan berbobot, dengan mempertemukan mereka kepada orang-orang dari kalangan atas. Di lain kesempatan, pertemukan juga mereka dengan orang-orang jalanan yang berbicara apa adanya, bahkan mungkin diwarnai sumpah serapah sebagai ekspresi keakraban (ingat, ojo kagetan!). Pastikan mereka luwes dan enjoy berkomunikasi menyesuaikan siapa yang diajaknya berbicara.

Sekali-sekali, beri anak-anak makanan enak yang mewah. Sekali-sekali, cukup nasi dan tempe goreng kemarin. Ojo gumunan, ojo getunan, ojo kagetan, ojo aleman.

Sesekali, giring anak-anak tidur di hotel mewah. Lalu sesekali, ajak juga menginap di losmen jelek atau berkemah dalam kondisi serba terbatas.

Pastikan anak tidak merendahkan orang yang jauh lebih miskin darinya, tetapi tidak juga keder dan minder saat berjumpa orang yang jauh lebih kaya darinya. Begitu juga saat mereka berjumpa orang berpendidikan lebih rendah dan lebih tinggi.

Ojo gumunan, ojo getunan, ojo kagetan, ojo aleman….

Karena apa yang kita yakini tentang metode mendidik anak belum tentu benar, maka persiapkan buah hati kita menerima segala kemungkinan yang akan terjadi. Toh kita tidak pernah tahu Tuhan sedang mempersiapkan takdir apa untuk mereka kelak.

Lakukan yang terbaik bagi pendidikan buah hati kita. Namun yang paling penting, didik mereka (sekaligus diri kita sendiri) untuk selalu bersyukur dan bergembira atas apa yang dimiliki saat ini.