Air Bersih Banyak Tersedia di Jalan, Pelancong Pun Senang
Salah satu kebutuhan utama pelancong adalah air. Entah itu untuk minum atau membersihkan anggota badan. Ketika Ara dan Kira masih kecil, Bunda biasanya membawa tisu kering dan basah setiap jalan-jalan. Sekarang, kami cukup membawa air minum dan hand sanitizer. Air minum itu akan kita pakai untuk membasuh ini-itu juga, jika memang kondisinya darurat.
Kalau kita jeli, sebenarnya ketersediaan air bersih itu banyak di sepanjang perjalanan. Dahulu, ada kendi (teko yang terbuat dari tanah liat) di depan rumah-rumah penduduk. Sekarang, ada wastafel umum di depan toko, stasiun, bandar udara, kantor, atau rumah penduduk. Semuanya gratis.
Mengenang Kendi: Solusi Air Gratisan di Era 90-an ke Bawah
Saat masih seumuran Ara dan Kira, Yayah suka berjalan kaki keliling kampung, kompleks, dan sekolah di Surabaya. Hal yang lazim ditemukan, ada kendi yang terletak di dekat pagar beberapa rumah.
Awalnya, Yayah tidak tahu apa fungsinya. Hanya dekorasi? Ternyata, tidak. Beberapa teman lantas memberi tahu bahwa siapapun boleh meminum atau memanfaatkan air di dalam kendi tersebut.
Di beberapa daerah Jawa, kendi atau gentong kecil itu disebut padasan. Diduga istilah ini berasal dari fungsinya, yaitu sarana untuk menghilangkan hadas kecil.
Inilah ajang sedekah bagi pemiliknya untuk para musafir yang membutuhkan air. Ide yang mulia!
Sejak itu, Yayah tak ragu memanfaatkan setiap kali melihat kendi-kendi semacam itu di pagar rumah orang. Tentu saja kalau memang ada airnya, Yayah memanfaatkannya untuk mencuci tangan atau kaki yang belepotan lumpur, sisa dari main di sawah atau di genangan hujan.
Pernah juga untuk berwudu atau mencuci buah yang ditemukan di jalan. Namanya juga anak-anak, hehehe.
Untuk minum? Pernah dijajal, tetapi rasanya sedikit aneh. Memang, air itu terasa segar dan agak dingin, karena tersimpan dalam gerabah. Ini mungkin kearifan lokal untuk mendinginkan air, sebelum ditemukan kulkas. Namun, rasa tanah liatnya itu membuat Yayah enggan meminumnya, kecuali kalau sangat haus.
Para pejalan kaki yang kebetulan lewat sana atau tamu yang hendak mampir ke rumah itu akan sangat terbantu. Pemiliknya, atau bisa dibilang donaturnya, mungkin akan mengisi ulang air kendi itu setiap pagi dan sore.
Bentuk Lain “Kendi” di Zaman Modern
Apakah di kota-kota besar, terutama di zaman modern ini, kendi-kendi masih tersedia di depan rumah orang? Sependek pengamatan kami yang suka berjalan kaki ke sana-kemari, sudah sangat jarang. Beberapa kali memang kami melihat kendi itu, tetapi bisa dibilang langka sekali.
Bentuk sedekah air kepada pejalan kaki, musafir, tamu, atau PKL yang membutuhkan air kini lebih praktis. Misalnya, dengan menyediakan keran air PDAM biasa, gentong atau ember air berkeran (seperti yang biasa kita lihat di zaman COVID-19), atau wastafel luar ruangan.
Ketika berjalan-jalan di Kota Lama Surabaya dan mampir makan siang di sebuah warung gado-gado, kami melihat penjualnya mengambil air dari keran sebuah gedung perkantoran. Keran itu berada di luar gedung, jadi kelihatannya memang diniatkan untuk memberi “orang luar”. Alias bersedekah.
Sistem tolong-menolong yang indah, bukan? Hanya, harapan kami, orang-orang yang menerima manfaat dari sedekah itu juga ikut bertanggung jawab.
Misalnya, dengan mengambil air sebatas yang diperlukan alias tidak boros. Juga, ikut menjaga agar keran tidak mengucur mubazir. Kalau sampai tagihan si pemberi itu membengkak dan memberatkan, lalu memutuskan tidak lagi menyediakan air bersih gratis untuk orang luar, kan, jadi rugi semua.
Di masjid-masjid, Yayah kerap mendapati keran di tempat wudu atau toilet yang tidak tertutup rapat, sehingga airnya masih mengucur.
Pelakunya atau orang-orang yang cuek berlalu lalang tanpa menutupnya mungkin berpikir, “Ah, biarin aja ngocor, toh bukan saya yang bayar.” Atau, “Itu, kan, sudah diniatin buat sedekah. Dia, kan, orang kaya. Tagihan PDAM berapapun pasti sanggup bayar.”
Alangkah tidak bijaknya pemikiran semacam itu. Sudah dibantu, bukannya berterima kasih dan ikut menjaga, malah cuek atau tidak merasa ikut memiliki.
Air Bersih Ada di Mana-mana, tetapi…
Dahulu, sungai-sungai masih bening dan bersih. Kalau kehausan di jalan atau ingin mandi, orang-orang tinggal belok. Sampai sekarang, di beberapa daerah pun masih demikian. Terakhir kami berkunjung ke Desa Pucungroto Magelang, air di sana masih bisa diandalkan.
Di kota, memang air bersih jarang didapat secara gratis. Yang bisa diminum hanya air mineral, hasil suling, atau hasil olahan PDAM.
Namun, bukan berarti kita kesulitan mendapatkan air bersih di jalan. Akan ada saja orang yang menyediakan air bersih gratis. Penyedianya bisa pemerintah (misalnya di taman, stasiun, bandara), perusahaan swasta, bahkan perorangan. Kita bisa melihat gentong, ember, wastafel, atau kendi berisi air untuk publik.
Ini menguntungkan kita sebagai pelancong (traveler). Alhamdulillah! Dari sini, kita bisa petik dua kesimpulan.
- Di tengah-tengah perekonomian yang makin sulit, ternyata masih banyak orang baik. Mereka dengan sukarela menyumbang air untuk orang-orang yang tidak dikenalnya.
- Air dianggap kebutuhan krusial, di luar untuk minum. Masyarakat kita sejak dahulu suka kebersihan. Jadi, air harus ada buat siapapun. Ini berbeda dengan bangsa Barat yang suka menggunakan tisu, bahkan untuk cebok. Barangkali karena cuaca di sana dingin sekali, jadi sebisa mungkin tidak bersentuhan dengan air.
- Makin sadarnya masyarakat akan tradisi mencuci tangan (meskipun tidak hendak makan). Barangkali, ini salah satu pelajaran berharga dari pandemi korona. Keluarga Kecil Homerie sendiri, sebelumnya pun tidak punya tradisi ini. Hehehe…. Setiap habis bepergian, kami jarang cuci tangan dan kaki, kecuali bila memang terlihat kotor.
Apapun itu, kita tetap harus waspada. Sebab, air bersih adalah problem utama di seluruh dunia nanti di masa depan. Banyak ahli berpendapat, kekeringan mengancam bumi ini setidaknya pada 2030. Hati-hati, Ayah-Bunda. Air, walaupun saat ini berlimpah, jangan diboroskan.