Ibnu Batuta: Petualang yang Memulai Perjalanan dari Niat Berhaji

Table of Contents
Ibnu Batuta: Petualang yang Memulai Perjalanan dari Niat Berhaji

Kisah penjelajahan terhebat dalam sejarah sering dimulai dari niat yang paling sederhana tetapi mulia. Inilah yang terjadi pada Abu Abdullah Muhammad bin Battutah, atau yang lebih kita kenal sebagai Ibnu Batutah, seorang pemuda terpelajar dari Tangier, Maroko.

Pada 1325, di usianya yang baru menginjak 21 tahun, Ibnu Batutah meninggalkan kenyamanan rumah dan keluarganya. Tujuannya saat itu hanya satu: menunaikan ibadah haji ke Mekah, memenuhi rukun Islam yang kelima. Ia berangkat hanya ditemani seekor keledai, dengan bekal keberanian dan iman yang membara.

Perjalanan Awal Sederhana Yang Berakhir Luar Biasa

Perjalanan yang semula ia perkirakan akan memakan waktu beberapa bulan, ternyata menjadi sebuah pengembaraan epik selama hampir 30 tahun.

Setelah menyelesaikan ibadah hajinya, Ibnu Batutah tidak langsung pulang. Rasa ingin tahu membuatnya melanjutkan perjalanan, melintasi lebih dari 44 negara modern dan menempuh jarak lebih dari 120.000 kilometer. Ini merupakan pencapaian yang jauh melampaui penjelajah terkenal lainnya seperti Marco Polo.

Dari gurun pasir Afrika Utara, kemegahan Mesir, tanah suci Syam, hingga jantung Asia Tengah, India, dan Tiongkok, kaki Ibnu Batutah pernah menjejak tanahnya, Ayah-Bunda.

Perjalanan Ibnu Batutah bukanlah sekadar petualangan fisik. Latar belakangnya sebagai pembelajar hukum Islam memberinya sudut pandang unik terhadap setiap masyarakat yang ia kunjungi. Tidak hanya melihat pemandangan seperti lazimnya kita ketika traveling, Ibnu Batutah juga mempelajari adat istiadat, sistem hukum, serta kehidupan sosial budaya di tempat-tempat itu.

Praktis, ia pun bertransformasi menjadi seorang sejarawan, geografer, dan antropolog amatir yang catatan-catatannya menjadi jendela ilmu yang tak ternilai bagi kita.

Ibnu Batutah ke Indonesia

Dalam perjalanannya menuju Tiongkok sekitar tahun 1345, Ibnu Batutah singgah di sebuah kerajaan Islam yang makmur di ujung utara Pulau Sumatra: Kerajaan Samudera Pasai. Dalam catatannya, ia menggambarkan wilayah ini sebagai "Pulau Jawa yang menghijau", sebuah deskripsi yang menunjukkan kesuburan tanah Nusantara.

Ibnu Batutah disambut dengan hangat dan tinggal di sana selama sekitar dua pekan. Ia sampai mengungkapkan kekaguman yang mendalam terhadap pemimpin Samudera Pasai, Sultan al-Malik az-Zahir.

Sultan itu ia gambarkan sebagai seorang pemimpin yang sangat saleh, rendah hati, dan berpegang teguh pada mazhab Syafi'i. Salah satu hal yang paling mengesankannya adalah kebiasaan sang sultan yang selalu berjalan kaki untuk menunaikan Salat Jumat di masjid, sebuah cermin kesederhanaan seorang penguasa.

Lebih dari itu, Ibnu Batutah menyaksikan bahwa Samudera Pasai telah menjadi pusat studi dan intelektual Islam yang maju di Asia Tenggara, tempat para ulama dan ahli teologi berkumpul untuk berdiskusi.

Warisan Abadi Ibnu Batutah

Setelah hampir tiga dasawarna berkelana, Ibnu Batutah akhirnya kembali ke Maroko. Atas permintaan Sultan Abu Inan Faris, ia menceritakan seluruh pengalamannya kepada seorang penulis profesional bernama Ibnu Juzayy.

Dari sanalah lahir sebuah mahakarya abadi yang dikenal sebagai Rihlah Ibnu Batutah (Catatan Perjalanan Ibnu Batutah), salah satu buku perjalanan paling penting dalam sejarah dunia.

Warisan Ibnu Batutah begitu besar hingga dunia modern pun mengakuinya. Namanya diabadikan sebagai nama sebuah kawah di bulan dan juga nama bandara internasional di kota kelahirannya, Tangier.

Rihlah Sang Diplomat

Petualangan Ibnu Battuta

Pandu sang penjelajah legendaris dalam perjalanannya yang bersejarah.