Hore, Tidak Ada UN Lagi! Tapi Sepadankah Penggantinya?

Daftar Isi
Hore, Tidak Ada UN Lagi! Tapi Sepadankah Penggantinya?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim resmi menghapus Ujian Nasional (UN) di Indonesia. Tidak ada lagi UN pada 2021. Sebagai gantinya, Kemdikbud telah menguji coba metode asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Asesmen tersebut terdiri atas kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Bagaimana menurut Ayah-Bunda?

Nostalgia UN, eh, EBTANAS

Zaman Bunda SD dulu, ujian serentak akhir tahun ajaran itu bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Mata pelajaran yang diuji mencakup Matematika, IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia. Sebelum itu, ada Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dengan mata pelajaran yang diujikan Agama, Penjaskes, Kesenian, dan Bahasa Daerah.

Menjelang EBTANAS, kami belajar mati-matian. Ini persoalan hidup-mati sebagai pelajar. Sebab, kalau sampai tidak lulus, alamat tidak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Seandainya Nilai EBTANAS Murni (NEM) kami jelek, pintu SMP Negeri tertutup. Padahal, sekolah negeri itu dambaan setiap murid dan orang tuanya, saat itu. Karena kualitasnya bagus, tetapi biayanya murah, bahkan ada yang gratis.

Itulah mengapa, beberapa teman Bunda ketika EBTANAS ada yang tidak jujur. Banyak orang tua murid yang "menitipkan" anaknya ke pihak sekolah. Maksudnya, meminta pihak sekolah untuk membantu siswa mengerjakan soal EBTANAS. Bagaimana caranya? Entahlah, Bunda sendiri tidak mengerti sampai sekarang.

Hal-hal semacam ini terjadi karena selain pihak sekolah tidak mau namanya tercoreng karena nilai-nilai EBTANAS murid-muridnya jeblok, juga pihak orang tua/wali murid juga tidak mau anak-anaknya gagal masuk sekolah negeri lanjutan.

Namun, jangan salah, Bunda bukan termasuk yang berambisi NEM tinggi tetap minta tolong guru. Lebih baik prestasi pas-pasan tetapi hasil keringat sendiri daripada nilai besar tetapi tidak jujur.

Walhasil, NEM Bunda tidak cukup untuk masuk SMP Negeri terdekat. Bunda dilempar ke SMP lain, sebelum akhirnya pindah ke SMP Negeri lain yang jadi idaman itu karena lokasinya lebih dekat dari rumah.

Ketika EBTANAS SMP, Bunda tetap tidak meminta bantuan sekolah, karena sekolah juga tidak menawarkan “bantuan”. Jadi, semua berjalan lebih bersih. Maka segera ketahuanlah siapa yang dulu masuk SMP itu dengan cara murni dan mana yang tidak. Bunda sendiri bisa masuk SMA Negeri incaran dengan NEM yang cukup.

EBTANAS di zaman Bunda itu seru dan menguras kesabaran. Ini belum cerita dari Yayah yang katanya pakai les-les segala.

Langkah Maju Menghapus UN

Kalau UN zaman sekarang, Bunda terus terang kurang memperhatikan. Setahu Bunda, UN sekarang bobotnya lebih berat. Akibatnya, banyak siswa yang stres.

Makanya begitu mendengar berita UN dihapus, jauh sebelum Ara nanti mengalaminya, Bunda girang. Mengapa?
  1. UN hanya menguji siswa berdasarkan beberapa mata pelajaran. Bagaimana kalau si anak lebih suka Kesenian? Bagaimana kalau si anak memiliki kecerdasan spiritual tinggi tetapi Matematika dan IPA-nya lemah? Bagaimana kalau olahraganya menonjol sementara pelajaran lainnya tidak tertarik? Pengukuran kemampuan siswa melalui UN terbukti parsial dan hantam rata belaka. Itu pun cuma aspek kognitifnya, tidak mencakup afektif, psikomotorik, atau aspek-aspek penting lainnya.
  2. UN bersifat teoretis. Siswa belajar mati-matian hanya demi UN, bahkan sampai orang tuanya mengeluarkan jutaan rupiah untuk les bimbingan belajar (LBB). Setelah UN, mungkin mereka tidak belajar lagi. Jadi, hasil dari UN bisa saja semu dan belum tentu dapat diterapkan dalam kehidupan mereka berikutnya. Seperti kata Mas Menteri, "Belajar untuk belajar." Belajar hanya demi lulus ujian dan mendapatkan pelajaran lainnya… yang gunanya untuk menghadapi kertas ujian berikutnya.
  3. Soal-soal dalam UN seragam, seolah kemampuan semua siswa di seluruh nusantara ini sama. Padahal setiap anak dilahirkan dengan kemampuan unik. Ingat kata Ayah Edy, bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa bibit potensi yang berbeda satu sama lain.
  4. Dengan adanya sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, hasil UN cenderung sia-sia. Sebab, yang menjadi bahan pertimbangan utama seorang calon siswa diterima atau tidak di sekolah tujuan adalah kedekatan lokasi rumah dengan sekolah, kalau tidak salah sebesar 50%. Nilai UN SMA juga tidak bisa dijadikan bekal masuk PTN.
  5. Sekolah menggunakan UN sebagai ajang untuk menunjukkan prestise. Padahal, siswa seharusnya diperlakukan sebagai anak-anak yang sedang belajar untuk bekal kehidupan dan membangun bangsa, bukan sebagai "alat marketing" sekolah.
  6. Dalam UN, dengan kondisi tertekan dan pola pikir siswa-guru-orang tua masih berorientasi angka, dimungkinkan tercipta ketidakjujuran (seperti cerita nostalgia Bunda waktu EBTANAS). Segala cara menjadi halal karena takut gagal.
Sejujurnya, UN juga memiliki sisi positif juga, terutama bila pola pikir siswanya sudah lurus atau positif. UN dapat menjadi motivasi siswa tersebut untuk giat belajar dan tidak menyia-nyiakan masa sekolah mereka.

Bagi beberapa orang, UN pun bisa dijadikan ajang kompetisi untuk mengukur kemampuan akademik mereka. Sayangnya, konsep “kompetisi” itu sering disalahartikan. Dalam pelaksanaannya, persaingan sering diwujudkan dengan cara-cara yang tidak sehat, untuk sebagian siswa dan orang tuanya.

Apa Pengganti UN?

Mendikbud memutuskan mengganti UN dengan metode Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI). Metode yang akan berlaku mulai 2021 ini mengombinasikan Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).

PISA adalah survei tiga tahunan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Fokus penilaiannya terhadap kemampuan 600.000 siswa berusia 15 tahun yang telah memperoleh pengetahuan dan keterampilan utama di 79 negara.

Yang memprihatinkan, berdasarkan hasil PISA 2018, kualitas pendidikan Indonesia turun di semua bidang kompetensi dibanding 2015. Skor kompetensi membaca pelajar Indonesia tiarap dari 397 menjadi 371, Matematika dari 386 menjadi 379, dan Sains dari 403 menjadi 396.

Sementara itu, TIMSS merupakan indikator kualitas pendidikan yang berasal dari International Association for the Evaluation of Educational Achievement. Penilaian TIMSS menekankan pada kompetensi matematika dan sains.

AKSI merujuk kepada dua program internasional tersebut. Tujuannya memberi SOP pada guru untuk mendiagnosis kemampuan siswa terkait topik-topik substansial.

Apakah ini metode yang memadai sebagai pengganti UN? Mari kita terus pantau, Ayah-Bunda.