Mengapresiasi Puisi Hidup di Dunia Hanya Sekali

Daftar Isi
Mengapresiasi Puisi Hidup di Dunia Hanya Sekali

Setelah Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar, kita sekarang bergeser ke puisi dari sastrawan generasi sebelumnya. Puisi itu berjudul Hidup di Dunia Hanya Sekali, karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pelopor Angkatan Pujangga Baru.

STA adalah seorang budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia. Lahir di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara, pada 11 Februari 1908, beliau berprofesi sebagai penulis, editor, penerjemah, dan dosen. Beliau juga salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta.

Lebih dari 30 buku, baik fiksi maupun nonfiksi, sudah diterbitkannya. Yang paling terkenal adalah Novel Layar Terkembang (1936). Penghargaan-penghargaan bergengsi pun telah diraihnya, antara lain Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (1970), Anggota Kehormatan di Koninklijk Instituut voor Taal Belanda (1976), The Order of the Sacred Treasure, Gold and Silver dari Jepang (1987).

Sutan Takdir meninggal di Jakarta, pada 17 Juli 1994. Namun, karyanya terus menjadi rujukan bagi dunia sastra Indonesia.


Puisi Hidup di Dunia Hanya Sekali

Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Menarik menunda badai dahsyat
seluruh buana tempat ngembara
Ria gembira mengejar berlari
anak air di gunung tinggi
memburu ke laut sejauh dapat
Lihat api merah bersorak
naik membubung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi!

Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat sampai berguncang
Jangan tanggung jangan kepalang

Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja
Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat bernyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit perjuangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
Urat seregang mata menantang.

12 Januari 1938

Makna Puisi Hidup di Dunia Hanya Sekali

Di antara puisi-puisi STA yang lain, puisi ini menurut kami memiliki daya penyemangat yang paling kuat. Baik-baitnya berisikan motivasi, semangat, serta asa yang berkobar-kobar.

Bait Pertama

STA mengajak pembaca untuk ikut bergembira, menjelajah, dan mengembara. Dikatakan bahwa “seluruh buana tempat ngembara”. Kita semua tahu, dunia ini luas. Banyak tempat untuk dijelajahi. Jangan hanya berdiam saja di satu tempat atau pergi ke tempat yang itu-itu saja. Bahkan anak air yang ada di gunung tinggi pun bergerak menuju ke laut. Tidak berdiam diri di gunung saja.

Ini terjadi karena adanya semangat untuk mencapai sesuatu. Semangat yang berkobar ibarat api besar yang menghasilkan asap yang juga besar, sehingga mampu mencapai langit.

Bait Kedua

Penyair mengajak kita untuk memiliki mimpi yang besar dan berusaha mewujudkannya, tidak bergeming tanpa melakukan apa-apa. Hidup yang cuma sekali ini jangan disia-siakan.

“Jangkaukan tangan sampai ke langit” punya makna kurang-lebih sama dengan meraih cita-cita atau impian setinggi langit. Untuk mencapai mimpi itu, diperlukan usaha yang tidak sedikit. STA mengatakannya melalui kalimat, “Oyak gunung sampai bergerak, empang sungai membanjiri bumi,” dan, “Aduk laut bergelombang gunung.”

Bagaimana caranya mengoyak gunung hingga bergerak, mengingat gunung adalah bagian alam yang sangat besar? Bagaimana cara empang dan sungai bisa membanjiri bumi, karena keduanya adalah bagian kecil dari planet ini? Atau bagaimana cara mengaduk laut hingga menciptakan gelombang seperti gunung, karena air laut begitu banyak sementara tangan kita jauh lebih kecil ukurannya?

Semua itu hanyalah kiasan yang menyiratkan bahwa kita harus berusaha keras untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Kalau perlu, gunakan alat (teknologi). Kalau Ayah-Bunda perhatikan, STA adalah penyair yang pro-modernisasi sekaligus pro-Barat. Makanya, di mana-mana, ia menyarankan bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi dan ilmu dari Barat (yang diasumsikan lebih maju), sekaligus memodernisasi pemikiran kita.

Bait Ketiga

Ini kelanjutan dari bait sebelumnya. Dalam rangka mengejar ketertinggalan tersebut, STA mengajak pembaca untuk bangkit dari kemalasan atau kesedihan, dan mengajak bekerja atau berjuang bersama.

“Mata yang layu” biasanya muncul karena seseorang kebanyakan tidur. Sedangkan “wajah yang pucat” bisa terlihat karena seseorang ketakutan atau terlalu lama bersedih. Keduanya menyiratkan ketiadaan semangat. Karenanya, mata yang layu dan wajah yang pucat harus kita singkirkan.

Demikian pula jantung yang lesu. Jantung adalah organ vital dalam tubuh yang menggerakkan darah. Jika jantung lesu, maka tubuh tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya, tidak banyak yang bisa kita kerjakan.

Bait Keempat

Penyair kembali mengajak kita untuk berjuang bersama, dengan semangat yang lebih besar dari sebelumnya. Belajar pada Barat bukan berarti mengamini tindakan penjajahan yang mereka lakukan.

STA ingin semua rakyat bangkit dan melawan penjajah, menghancurkan segala yang mengekang (penjajahan). Demi kebebasan serta kemenangan… yang kemudian baru tercapai pada 1945).

Kata-kata dalam puisi ini begitu menggugah gairah perjuangan, meski tidak dalam ajakan yang terang-terangan. Memang, kalau kita perhatikan konteks sejarahnya, Sutan Takdir Alisjahbana hidup di tengah-tengah bangsa yang sedang stagnan dan terkekang oleh kuku-kuku penjajah Belanda yang masih begitu kuat. Beliau tentu tak dapat melakukan perjuangan secara terang-terangan.

Maka, STA menyampaikan protes, semangat, serta curahan hatinya melalui lambang-lambang atau kiasan. Contohnya, diksi-diksi dari alam seperti “badai”, “gunung”, “laut”, “langit”, “samudera”, “tagar”, “empang”, “sungai”, dan “bumi”.

Puisi yang menggunakan diksi-diksi seperti ini biasanya puisi romantis yang menggambarkan keindahan alam, atau mengibaratkan suasana hati dengan fenomena alam.

Namun STA menggunakan pilihan kata seperti itu untuk mengajak pembaca melakukan tindakan besar. Semangatnya yang berkobar begitu terbaca dalam bait-demi bait. Membuatnya enak untuk dibacakan kepada siapa saja atau oleh siapa saja, termasuk anak kecil.