Siswa Menang Lomba, Sekolah Minta Bagian: Adil atau Tidak?

Menjadi juara dalam sebuah lomba antarsekolah tentu membanggakan, terutama jika yang menang adalah buah hati kita. Bisa turut mengharumkan nama sekolahnya, sekaligus membuktikan diri. Apalagi bila lomba itu sesuai minat dan bakatnya.
Namun, terkadang hadiah bisa menjadi sumber masalah. Soal hadiah, biasanya sang anak berharap semua yang dijanjikan panitia menjadi miliknya. Jadi, saat sekolah meminta bagiannya, si anak merasa kecewa. Ayah-Bunda pernah mengalami anaknya seperti itu?
Dari Sudut Pandang Siswa
Seorang teman, sesama orang tua muda, mengeluh di media sosial:
Beberapa waktu lalu, anak saya memenangkan sebuah lomba. Seperti biasa, hadiah yang diperoleh tidak sepenuhnya diberikan kepada peserta.
Sebagian besar digunakan oleh sekolah untuk dana pembinaan, sementara anak saya hanya menerima sekitar 30% dari total hadiah. Piala yang seharusnya menjadi simbol kemenangan juga ditahan sementara di sekolah, biasanya untuk diduplikasi sebelum akhirnya diberikan saat pembagian rapor.
Sebagai orang tua, saya tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Umumnya, memang begitu. Dana pembinaan wajar jika sebagian digunakan sekolah, dan piala pun sering ditahan untuk diduplikasi.
Namun, anak saya tampaknya tidak bisa menerima situasi ini. Ia menjadi bad mood selama beberapa hari. Baginya, usaha dan perjuangan yang ia lakukan untuk menang seakan tidak sebanding dengan hasil yang diterima.
Teman kami itu rasanya sudah benar, dan kekecewaan anaknya juga sepenuhnya bisa dipahami. Sudah bekerja keras, eh, malah pihak sekolah yang “menikmati” sebagian besarnya. Pasti gondoklah!
Dari Sudut Pandang Sekolah
Di sisi lain, kebijakan sekolah juga masuk akal. Karena Yayah pernah tahu kondisi serupa di mana justru pihak sekolah yang “terzalimi”.
Saat SMP, Yayah punya teman yang jago bulutangkis dan sering menang kompetisi badminton. Sebutlah namanya Anas. Anehnya, pihak sekolah tidak terlalu menggembar-gemborkannya, seolah tidak bangga muridnya bisa berprestasi. Yayah pun heran, “Kok bisa sekolah acuh tak acuh?”
Pertanyaan itu terjawab ketika suatu hari, guru olahraga menyeletuk di depan kelas, "Percuma saja Anas juara terus, wong pialanya tidak pernah ditaruh di sekolah. Selalu dibawa pulang."
Disindir begitu, si Anas hanya cengar-cengir.
Kalau dipikir-pikir, sekolah pantas kecewa. Bagaimanapun, sekolah juga butuh rak pajangan prestasinya terus diisi piala dan tropi murid-muridnya yang juara ini-itu, sekalipun itu hanya duplikat. Ini bagian dari strategi marketing untuk menarik calon siswa baru.
Selain itu, sekolah terkadang harus menanggung biaya (pendaftaran) lomba, terutama yang berbayar. Dilihat dari kacamata investasi, jika siswa itu kalah, tentu sekolah yang rugi karena modalnya tidak balik. Dan dalam lomba-lomba, lumrahnya kita kalah jauh lebih sering daripada menang, bukan? Berarti sekolah akan lebih sering rugi.
Nah, apakah sekolah pernah menuntut orang tua untuk ikut menanggung kerugian akibat tidak menang? Tidak, bukan?
Maka, ketika siswa berhasil menang, wajarlah bila sebagian hadiahnya diambil oleh sekolah. Sang siswa masih tergolong wajar jika diberi 30% dari jumlah hadiah.
Bukan hanya soal biaya pendaftaran lomba, sekolah juga biasanya mengutus guru untuk melatih atau mendampingi siswa yang ikut lomba. Itu adalah pekerjaan di luar tanggung jawab resminya sebagai staf pengajar. Mereka juga mungkin mengeluarkan biaya tambahan untuk transportasi, makan, dan kebutuhan lainnya.
Kemenangan seorang siswa dalam lomba bukan hanya berkat kerja kerasnya seorang. Sedikit-banyak, ada pihak-pihak yang turut andil dan melakukan pengorbanan masing-masing.
Jalan Tengahnya
Di sinilah perlunya saling pengertian. Sampaikan kepada si buah hati, sang juara itu, bahwa yang terpenting adalah dokumentasi keikutsertaannya dalam lomba, foto atau video saat bertanding, menerima hadiah di panggung, dan bersama piala. Ditambah sertifikat yang sudah pasti boleh ia bawa pulang.
Rekaman atau dokumentasi dan sertifikat itu sudah cukup sebagai bukti bahwa ia pernah menjuarai suatu kompetisi. Selebihnya, uang dana pembinaan mau diambil sebagian, tidak masalah. Jika sekolah ingin menyimpan piala untuk dipajang, silakan saja. Hanya dipinjam untuk diduplikasi, harusnya tambah boleh, karena artinya piala itu akan dikembalikan kepada si anak.
Katakan juga, kalau buah hati kita tidak ingin pialanya atau uangnya "diambil" oleh sekolah sama sekali, solusinya sederhana. Lain kali, ikutilah lomba atau kegiatan tanpa melalui sekolah.
Misalnya, seperti Ara di kompetisi video bahasa Prancis, atau ia mengirim cerita ke Majalah Bobo.
Jika menang atau dimuat, seluruh hadiah bisa dinikmati sendiri. Nanti, kita tinggal pihak sekolah bahwa muridnya sudah juara di sana. Sekolah pasti dengan senang hati akan memajangnya di medsos atau grup guru-guru. Anak pun bisa makin bangga, tanpa khawatir hadiah atau honornya “diambil”.
Simpel, bukan? Namun, tentu saja, ini menurut kami. Bagaimana menurut Ayah-Bunda?