Di Zaman Ini, Masih Perlukah Membeli Mobil Pribadi?

Daftar Isi
 Di Zaman Ini, Masih Perlukah Membeli Mobil Pribadi?

Seorang kawan menanyakan, “Mengapa sebagai penyuka traveling, Keluarga Kecil Homerie tidak pernah (terlihat) memanfaatkan mobil?” Saat kami menjawab memang tidak punya, ia menyarankan agar kami membelinya. Sebab, menurutnya, jalan-jalan lebih enak dan hemat bila menggunakan mobil sendiri.

Kami kurang setuju soal itu. Yayah memang punya SIM A yang aktif untuk mengantisipasi ketika sewaktu-waktu harus menyetir mobil. Namun, makin lama, keinginan membeli kendaraan roda empat makin ia kesampingkan. Mengapa?

5 Alasan Kami Tidak Perlu Mobil

5 Alasan Kami Tak Perlu Mobil

1. Lalu lintas selalu macet

Kami hidup di perkotaan. Kemacetan adalah makanan sehari-hari. Bayangkan bila kendaraan utama kami mobil, apa tidak stres? Dengan sepeda motor saja sudah sering mengelus dada di jalan, apalagi naik mobil?

Bahkan faktanya, tidak perlu sampai di jalanan besarnya, di kompleks perumahan kami saja sudah macet pada jam-jam tertentu. Maklum, dalam radius 700 meter dari rumah kami, ada setidaknya tujuh sekolah swasta. Tiga di antaranya sekolah elite yang para orang tua muridnya suka mengantar-jemput dengan mobil.

Kalau kami menggunakan mobil juga, artinya bukan saja kami terjebak macet, tetapi kami juga turut berandil menyebabkan kemacetan!

2. Transportasi publik mulai bagus

Dua kota utama tempat kami biasa menghabiskan banyak waktu, yakni Surabaya dan Bandung, sudah lumayan terbangun sistem transportasi publiknya. Meskipun masih jauh dibanding kota-kota besar dunia, setidaknya ke mana-mana tidak bingung lagi sekalipun tidak punya kendaraan.

Semua armada transportasi publik ini juga kian modern, sistemnya tidak semrawut lagi seperti ketika zaman angkot berjaya. Untuk tujuan-tujuan (lokasi-lokasi) utama, ada kereta dan bus komuter. Untuk tujuan-tujuan agak memblusuk, ada kendaraan pengumpan, seperti WiraWiri. Kota-kota besar dan kecil lain di Indonesia, cepat atau lambat, akan menyusul. Baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa.

Nah, kalau kemudahan transportasi publik sudah merata, apa perlunya membeli mobil pribadi? Lagi pula, kalau kepepet, taksi daring juga sudah makin banyak di setiap kota.

3. Biaya operasional mobil cukup tinggi

Jika kita punya mobil, pengeluaran tidak berhenti saat kita berhasil membeli atau melunasi cicilannya. Setelah terbeli pun ada ongkos perawatan yang tak kalah besar. Misalnya, biaya:

  • Tahunan / 2 Tahunan / 5 Tahunan: Pajak STNK, ganti plat nomor, servis besar (pemeriksaan menyeluruh), penggantian suku cadang utama (termasuk freon), pembelian baterai (jika itu mobil listrik), dan lain-lain.
  • Bulanan: Servis rutin, ganti oli, aki, minyak, filter udara, dan seterusnya.
  • Mingguan: Bahan bakar (bensin/solar/listrik/gas), tambah angin ban, cuci mobil, dan lain-lain.
  • Harian: Tergantung musibah apa yang terjadi hari itu. Musibah itu bisa berupa tidak berfungsinya suatu bagian, kecelakaan, aksi vandalisme (baret), pencurian (spion), uang parkir (di Indonesia banyak Kang Parkir, Ayah-Bunda!), dan sebagainya.

Pengeluaran-pengeluaran di atas mungkin tidak seberapa besar. Namun, jika dikumpulkan atau terjadi dalam waktu yang bersamaan, bisa bikin garuk-garuk kepala juga dalam bayangan kami.

4. Bakal jarang membutuhkan mobil (pribadi)

Barangkali, biaya-biaya operasional mobil dapat diminimalkan dengan tidak sering-sering menggunakannya. Faktanya, kami keluar rumah mungkin tidak sesering keluarga lainnya.

Maka, seandainya benar-benar memiliki mobil pribadi, kami berprinsip, “Kalau bisa jalan kaki, naik sepeda, sepeda motor, atau transportasi publik, mobilnya enggak usah dipakai. Demi penghematan!”

Sialnya, ada yang bilang, efisiensi semacam itu justru merugikan. Bagaimanapun, mobil harus tetap dipanasi setiap hari (yang artinya bensinnya tetap saja susut), diganti olinya, dan seterusnya. Kalau tidak, onderdil-onderdilnya akan berkarat. Di lain sisi, digunakan atau tidak, pajak mobil tetap harus dibayar, bukan?

Manfaatnya tidak kita nikmati secara maksimalkan, tetapi fix cost-nya tetap harus kita tanggung. Rencana penghematan pun malah jadi blunder.

5. Enggan capek fisik-mental

Pemilik kendaraan harus mengerti dasar-dasar ilmu permesinan. Supaya ketika terjadi kerusakan, ia tahu letak masalahnya.

Nah, kami? Tidak punya passion sedikit pun di bidang otomotif. Saat mobil mogok di tengah jalan, apalagi tengah malam, sudah pasti panik! Kalau sepeda motor, masih bisa dituntun. Mobil?

Hal-hal semacam ini memang bukan hobi kami. Bahkan, Yayah dan Bunda tidak menikmati duduk di belakang setir, baik setirnya bundar (mobil) maupun lurus (motor). Dahulu, kami belajar mengendarai mobil sekadar supaya bisa. Entah sekarang masih bisa atau tidak, karena sudah lebih dari satu dasawarsa tidak dipraktikkan, hehehe...

Awalnya, sebagaimana keluarga-keluarga menengah lain, kami juga berambisi sekalian membeli mobil. Terutama karena terpengaruh pemikiran orang-orang, “Kalau ke mana-mana, apalagi rekreasi keluarga, lebih enak bawa mobil sendiri.”

Namun, sekarang, kami berpikirnya praktis saja, “Rekreasi ke luar kota? Ngapain capek-capek nyetir? Mending jadi penumpang saja dan fokus menikmati perjalanan.”

Belum lagi, ada potensi-potensi capek secara psikis juga. Mari akui, tidak banyak orang yang memiliki mobil. Terkadang, orang tidak sungkan-sungkan meminjam mobil, seperti meminjam mainan puzzle saja. Sekali pinjaman (gratis) itu sukses, akan ada pinjaman-pinjaman berikutnya.

Atau, mobilnya tidak dipinjam, tetapi kitanya "diminta" untuk mengantarkan ke sana-kemari dengan mobil kita. Sementara, kita sungkan untuk menolaknya. Hahaha. Capek, enggak, sih?

Risiko Tidak Punya Mobil Sendiri

Risiko Tidak Punya Mobil Sendiri

Bagaimanapun, mobil adalah kendaraan yang lebih aman dan nyaman dibanding motor. Mobil juga mampu menampung lebih banyak barang serta penumpang. Kami paham keunggulan mutlak moda transportasi roda empat ini.

Pernah, kami hendak pergi ke pesta pernikahan saudara yang lumayan jauh dan berusaha memanggil Go-Car, Grab dan BlueBird, tetapi tidak ada yang datang karena malam itu macet parah di mana-mana. Akhirnya, kami sekeluarga batal berangkat.

Sulitnya memanggil taksi daring juga nyaris menghancurkan rencana liburan kami ke Jember. Kereta sudah mau berangkat, tetapi kami bolak-balik ditolak oleh sopir taksi daring, lantaran hujan deras. Dengan tas-tas berat, masa harus jalan kaki empat kilometer ke stasiun? Naik ojek saja rasanya ide bodoh, apalagi jalan kaki!

Bagaimana tidak panik, tiket kereta pergi-pulang dan hotel untuk dua malam sudah terlanjur dipesan!

Untungnya, akhirnya ada taksi daring yang menerima. Dan subuh itu, ia mengantar kami menembus banjir, dengan mengebut! Kami sport jantung, bukan hanya karena keretanya sudah akan berangkat, tetapi juga lantaran khawatir keselamatan kami di mobil. Hahaha.

Di Ngawi, kami juga sempat mati gaya selama berjam-jam. Rencana mengunjungi Museum Trinil (yang terpencil) terancam gagal. Waktu itu, taksi daring belum ada di Ngawi. Transportasi umum menuju sana juga nihil. kami benar-benar merasakan pentingnya jalan-jalan dengan mobil sendiri.

Namun, yang paling tidak mengenakkan soal tidak memiliki mobil sendiri ini adalah ketika ada orang di rumah yang butuh penanganan darurat.

Saat mama (ibunya Yayah) tiba-tiba ambruk, kejadiannya dini hari. Sopir taksi daring yang beredar di jalan jauh lebih sedikit dibanding waktu-waktu lainnya. Yayah terus berdoa dan harus “mengemis-ngemis” setiap ada sopir yang menyanggupi datang di aplikasi, “Tolonglah cepat, Pak. Ini soal nyawa.”

Meskipun sopir itu menyanggupi, tetap saja datangnya lama. Belum lagi pada jam segitu, portal-portal kompleks banyak yang sudah ditutup.

Itulah suka-duka tidak memiliki mobil sendiri. Bagaimana menurut Ayah-Bunda? Tentu masing-masing keluarga memiliki preferensinya sendiri.