Mendesain Anak Menjadi Pencerita Ulung

Daftar Isi
Mendesain Anak Menjadi Pencerita Ulung

Sebutlah namanya Sean, CEO sebuah perusahaan rintisan di Los Angeles, California. Setelah dia presentasi di sebuah perhelatan internasional, saya sengaja mengajaknya bicara karena terpukau oleh kemampuannya bertutur di depan publik. Ketika Sean berbicara, ratusan orang menyimaknya, percaya pada kata-katanya, dan mengingatnya.

"Bagaimana presentasimu bisa memukau seperti itu?" tanya saya.

Sean malah balik bertanya, "Siapa yang presentasi? Saya tadi hanya bercerita."

Voilà! Sekarang, saya mengerti mengapa penampilan Sean begitu menarik.

"Semua orang sudah alergi dan bosan mendengarkan presentasi," lanjut Sean. "Kita tidak bisa lagi menggunakan cara itu. Kita harus menggantinya dengan storytelling."

Ya, saya setuju. Dengan presentasi, orang akan bosan, mengantuk, gelisah, bolak-balik membuka ponsel pintarnya, atau pergi ke toilet. Sedangkan cerita, siapa yang tidak tertarik? Sejak kecil, kita suka menyimak cerita, apakah itu komik, novel, menonton film, atau apapun bentuknya.

Makanya banyak pemimpin dan manajer pemasaran yang sudah menggunakan teknik storytelling dalam memimpin tim atau untuk menceritakan brand mereka. Dengan storytelling, orang ingin mendengarkan, memercayai Anda, penasaran dengan kelanjutannya, bahkan melakukan apa yang Anda sarankan dalam cerita itu.

Storytelling Lebih Efektif Dibanding Presentasi

Pantaslah bila perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, seperti Microsoft, P&G, Nike, Motorola, NASA, hingga World Bank mewajibkan pemimpin-pemimpinnya menggunakan teknik storytelling dalam menyampaikan ide dan visinya.

"Tapi bagaimana kamu mengembangkan kemampuan berceritamu, Sean?" saya masih penasaran.

"Ayah saya yang mengajarkan itu," ujarnya. Sean meminum sparkling water di depannya sebelum melanjutkan, "Ayah dulu sering menceritakan dongeng sewaktu saya kecil. Banyak ayah yang melakukan itu. Bedanya, ayah saya selalu meminta saya mendongengkan apa yang dia ceritakan kepada saya sehari sebelumnya."

Otak saya langsung membayangkan ayah saya sendiri yang dulu juga rutin mendongengi saya. Temanya biasanya wayang. Saya ingat bagaimana beliau menuturkan adegan akhir perang Barata Yuda. Penggambarannya sangat hidup, sampai-sampai saya mampu memvisualisasikannya.

Esok paginya, saya menceritakan adegan itu kepada teman-teman saya. Mereka suka. Malah suka menagih cerita kepada saya pada jam istirahat. Saya dengan senang hati menuruti permintaan mereka. Dan ternyata, kakak-kakak kelas saya ikut mendengarkan juga! Waktu itu, saya masih kelas 3 SD, dan saya sudah mengumpulkan 60 orang sebagai audiens saya.

Sebagaimana Sean, saya juga melakukan itu secara rutin, di mana ayah saya adalah sumber ceritanya. Ini bukan soal bakat. Meskipun bakat kita hebat, tetapi bila tidak melatihnya, percuma saja! Jadi, yang jauh lebih penting adalah latihan dan kerja keras.


Bagaimana Mendidik Anak Menjadi Pencerita (Storyteller)?

Hampir semua orang hebat yang saya kenal juga merupakan pendongeng yang hebat. Sebagaimana pendapat Sean, dan juga saya, keterampilan itu sebaiknya dipupuk sejak kecil. Bagaimana caranya?

Yang pertama, berilah contoh: mendongenglah! Dongengkan cerita-cerita Hans Christian Anderson, dongeng nusantara, sejarah, cerita motivasi tokoh terkenal, apapun yang cocok dengan usianya. Ceritakan secara teratur!

Kedua, mintalah si kecil mengulangi dongeng Anda. Keesokan harinya, bujuk dia untuk mempresentasikan cerita yang sama kepada Anda. Suruh dia menceritakan pelan-pelan. Bantu dia mengingat bagian-bagian yang terlupa. Jangan lupa puji usahanya.

Ketiga, ajak dia mengarang cerita bersama. Saya biasa memainkan "satu orang satu kalimat". Misalnya, saya membuka, "Pada suatu hari, seorang pangeran pergi ke hutan." Lalu istri saya menambahkan, "Pangeran itu bernama William." Ilma, anak pertama saya, meneruskan, "Hari itu, kudanya berlari menuju telaga." Nadia menyambung, "Tetapi ternyata air telaga itu beracun." Adrian, anak bungsu saya mengimbuhi, "Kudanya mati, pangeran pun kebingungan di pinggir telaga." Lalu, kembali ke saya. Dan seterusnya.

Keempat, bangun karakter yang kuat dalam cerita. Cerita yang bagus selalu diawali dengan karakter tokoh yang kuat. Seperti raksasa jahat, pangeran tampan, putri yang baik hati, anjing yang lucu. Karaker itu akan membuat cerita lebih hidup.

Kelima, visualkan ceritanya. Tambahkan hutan, danau, rumah yang tua, pasar yang ramai, atau bandara yang bising.

Keenam, mintalah dia membuat cerita pendek sendiri. Setelah beberapa kali latihan bersama, sekarang dorong buah hati Anda agar mulai menceritakan kisahnya sendiri. Mulailah dengan menceritakan kepada Anda, lalu kepada keluarga kecilnya, teman-temannya di kelas dan di sekolah.

Ketujuh, berikan hadiah dan pujian. Jangan hanya memberikan hadiah saat anak mendapatkan nilai rapor yang bagus. Berikan juga ketika mereka berani tampil, meskipun hanya di tengah-tengah keluarga kecilnya. Ingat, berani tampil dan menceritakan cerita itu sebuah prestasi.

Terakhir, kedelapan, latihan, latihan, latihan! Latih sesering mungkin. Di kamar tidur, di sekolah, di acara keluarga. Carilah kesempatan agar mereka berani tampil.

Dengan kedelapan langkah inilah saya melatih anak-anak saya sendiri. Sekarang, mereka sudah percaya diri saat tampil di depan ratusan orang.

- Dipinjam dari akun Facebook Pambudi Sunarsihanto (dengan penyuntingan seperlunya)