Memfungsikan Kembali Sepetak Tanah Depan Rumah

Daftar Isi
Memfungsikan Kembali Sepetak Tanah Depan Rumah

Sepetak lahan di depan rumah kami sudah lama membuat frustrasi. Ditanami sesuatu, selalu gagal karena tanahnya kurang subur. Namun, bila diumbar, rumput dan ilalang akan tumbuh liar. Membuat rumah kami tampak seperti angker dan tak berpenghuni.

Sementara, untuk mencabuti rumput serta ilalang, tentu sangat merepotkan. Kalau pun membayar orang, rasanya sayang setiap pekan harus mengeluarkan uang hanya demi mengurus rumput.

Maka, kami berencana merevitalisasinya. Pertama, agar ruang tumbuh rumput makin sempit. Kedua, syukur-syukur ada tanaman yang bisa bermanfaat di sana. Proyek ini tanpa bantuan orang lain atau tukang kebun. Dan targetnya, dua bulan harus selesai, alias sebelum musim penghujan tiba!


Pekan 1: Pembersihan

Pekan 1: Pembersihan

Sebagai rencana awal, lahan 1 x 5 meter persegi tersebut kami bagi secara imajiner menjadi tiga lajur:

  1. Lajur kanan yang dekat dengan selokan
  2. Lajur tengah yang sudah ditumbuhi pohon-pohon
  3. Lajur kiri yang paling jauh dari selokan

Di minggu pertama, kami bekerja bakti membabat dan mencabuti akar rumput dan ilalang. Lantaran banyak sekali tanaman liarnya, pekerjaan ini tidak selesai dalam 2-3 hari. Kami mencicilnya hampir setiap hari.

Lahan yang sebenarnya belum bersih pun langsung kami tanami bibit bayam brazil di lajur kanan dan tiga stek singkong di lajur tengah. Bayam brazil adalah tanaman kuat yang mudah tumbuh. Kami ingin menjadikannya sebagai tanaman perintis di lahan ini.

Pekan 2: Pengamatan

Pekan 2: Pengamatan

Di minggu kedua, tidak banyak yang kami lakukan. Kami hanya menyirami stek-stek bayam brazil dan singkong yang telah tertancap di tanah. Tentu saja, sambil kami sirami semuanya setiap hari. Apalagi, waktu itu, cuaca Surabaya benar-benar panas dan kering.

Yang menjengkelkan, tidak peduli betapapun panasnya suhu, tanaman-tanaman hama masih bisa tumbuh dengan suburnya. Mungkin mereka ikut menikmati air yang kami siram setiap pagi dan sore. Ah, serbasalah jadinya.

Namun, tidak apa-apa. Kami terus menyiraminya, sambil mencabuti rumput serta alang-alang di sana. Juga, kami mulai membajak lajur kiri, untuk tempat penanaman berikutnya.

“Bakal ditanami apa, Mas?” tanya seorang tetangga, tepat di samping rumah.

Yayah hanya tersenyum dan menggerakkan bahunya. Sebab, ia memang belum tahu apa yang akan ditanam.

Pekan 3: Perobohan

Pekan 3: Perobohan

Ada sebuah pohon, kami tidak tahu apa namanya, yang tumbuh tinggi menjulang hingga melebihi kabel listrik. Agak mengkhawatirkan kalau sampai kabel listrik terganggu. Karena itu, ada opsi menebangnya.

Namun, itu tidak juga segera kami lakukan, karena sepertinya, pohon berkambium itu kokoh. Kami mengira akan butuh tenaga dan orang (dan uang) ekstra untuk merobohkannya, sebagaimana saat kami menebang pohon mangga dengan tarif 1,2 juta.

Namun, ternyata pohon itu sudah lapuk dan goyang. Mudah dipatahkan batang per batangnya. Memang perlu tenaga ekstra, tetapi tidak sekokoh pohon mangga kami waktu itu. Yayah pun segera merobohkannya (tidak perlu ditebang), bahkan mencabut bonggol akarnya sekalian dengan tangan kosong, dan seorang diri.

Hanya, di bagian akarnya, ternyata ada sarang semut merah, sehingga Yayah harus waspada dalam melangkah. Karena gigitan serta sengatan semut-semut ini meninggalkan rasa sakit, panas, sekaligus gatal.

Di lajur itu juga, ada pohon kembang sepatu yang tidak terlalu bagus. Namun, kami sengaja mempertahankannya, karena itu peninggalan almarhumah Eyang.

Sementara itu, di sisi lajur kiri, kami memberi pupuk kompos buatan sendiri. Kemudian, kami menutupnya kembali agar rata dengan tanah.

Pekan 4: Pitaya

Pekan 4: Pitaya

Untuk lajur tengah, menemani kembang sepatu, kami berspekulasi menanam pohon pitaya (buah naga) yang sudah dewasa. Posisinya berselang-seling dengan singkong.

Melihat tanaman berjenis kaktus itu, seorang tetangga seberang rumah yang kebetulan lewat bertanya, “Bagaimana kalau sudah berbuah dan buah naganya dicuri orang?”

“Oh, tenang saja,” jawab Yayah. “Di dalam, kami juga menanam pohon pitaya. Sama seperti singkong dan bayam brazil yang berada di luar ini, semua sudah kami ikhlaskan. Kalau diambil orang, ya hitung-hitung sedekah. Hehehe.”

Pekan 5: Buntu

Pekan 5: Buntu

Karena tidak ada ide lain, akhirnya kami menanami lajur kiri yang masih kosong itu dengan bayam brazil juga. Harus diakui, tanaman hias sekaligus enak untuk disayur ini mampu tumbuh meskipun dengan kondisi tanah yang kurang subur. Sulit kami temukan tumbuhan lainnya yang sekuat ini.

Dalam bayangan kami, jika nanti ada ide atau bibit tanaman lain, bayam brazil dapat dipanen kapan saja. Sehingga, lajur kiri yang kembali kosong dapat kami tanami dengan tanaman baru itu.

Pekan 6: Gagal

Pekan 6: Gagal

Bayam brazil, baik di lajur kanan maupun kiri mulai rimbun. Sayangnya, demikian pula dengan rumput dan alang-alang.

Di sisi lain, tanaman singkong tidak ada yang menunjukkan progres. Nyaris tidak ada ranting dan daun yang tumbuh. Ketika Yayah goyang-goyang steknya, terasa tidak ada perlawanan. Ini menandakan bahwa singkong itu belum berakar.

Berdasarkan pengalaman kami berkebun, stek singkong yang sehat, dalam hitungan hari setelah ditanam sudah memperlihatkan tunas-tunas daun. Yang tiga ini agak lain. Sungguh mengecewakan, mengingat ini sudah pekan keenam.

Akhirnya, Yayah memutuskan untuk mencabut dan membuang saja stek-stek singkong itu. Terbukti, akar mereka kecil-kecil dan bobotnya ringan sekali, seperti tidak berisi. Mati segan, hidup pun enggan.

Sementara itu, dua pohon pitaya bernasib tak kalah nahas. Mereka dirubung semut api. Orang bilang, itu sebenarnya bagus, karena semut merah tersebut sedang berpatroli menjaga pohon pitaya agar tidak kedatangan hama.

Masalahnya, semut-semut itu tidak sekadar berpatroli, tetapi juga bersarang di dalam batang pohon naga! Akibatnya, beberapa bagian membercak kuning, cokelat, bahkan kering. Yayah pun berkesimpulan, semut-semut itu bukan sedang menjaga pohon dari hama. Merekalah hama itu!

Pekan 7: Sansevieria

Pekan 7: Sansevieria

Bunda berusaha meracik ramuan air cabe plus gerusan bawang sesuai anjuran di YouTube untuk mengusir semut api. Air sabun cuci piring juga sudah digunakan untuk menyemprot semut-semut di dalam pohon pitaya. Setiap pagi dan sore, selama seminggu.

Namun, hasilnya nihil. Sehingga, kami memutuskan untuk membawa masuk saja batang-batang pitaya yang masih bisa diselamatkan. Lalu, ditanam ulang di dalam.

Seorang tetangga yang rumahnya di ujung gang pernah mampir dan mengobrol dengan Yayah. Menurutnya, tanah di sini memang kurang subur. Tanahnya setengah beracun lantaran rembesan dari air selokan yang merupakan limbah rumah tangga. Ada sarang semut pula yang merupakan sisa dari pohon terdahulu.

“Cuma tanaman-tanaman bandellah yang bertahan di sini,” pungkasnya.

Apa boleh buat. Bagaimanapun, proyek revitasisasi lahan ini harus terus dilanjut sebelum musim hujan.

Sambil mencabuti rumput, Yayah menemukan satu lajur lagi untuk ditanami. Lajur yang dekat dengan paving jalan. Mau ditanam apa di sana? Mengingat kondisi tanah dan alam yang buas, apalagi celahnya sempit, tanaman yang hendak ditaruh di lanjur terluar ini harus yang tahan banting.

Beruntung, kami memiliki tanaman lidah mertua (sansevieria), peninggalan almarhumah Eyang juga. Maka kami pindahkan saja tanaman hias yang tidak butuh banyak air dan perawatan itu ke luar.

Tahukah Ayah-Bunda, sansevieria kuat mengisap karbondioksida, jadi cocok diletakkan di pinggir jalan, dan menukarnya dengan oksigen. Jadi, tanaman ini berfungsi untuk menyaring polusi dari kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Konon, ia juga dapat beranak pinak seperti pohon pisang. Cocoklah!

Pekan 8: Lebat

Pekan 8: Lebat

Begitu masuk musim hujan, pertumbuhan tanaman-tanaman di petak depan rumah terasa lebih pesat. Bayam brazil, sansevieria, termasuk rumput liar seolah berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang paling rimbun.

Kami akhirnya kewalahan, sehingga hanya sesekali saja merapikannya.

Kalau dihitung-hitung, ini memang sudah bulan kedua. Jadi, rasanya kami cukupkan sampai di sini saja proyek revitalisasi taman depan rumah kami. Masih kumuh. Namun, setidaknya sekarang tumbuhan-tumbuhannya memiliki fungsi. Tidak seperti sebelumnya.

Semula, sepetak tanah ini tidak sedap dipandang mata, tidak produktif, tidak ada yang bisa dimakan, dan rumputnya mengganggu mata. Sekarang, sedikit lebih rapi.

Selain itu, taman ini juga dapat menjadi stok sayur (bayam brazil), menyaring polusi (sansevieria), sekaligus semacam kebun bibit bagi dua spesies tanaman itu. Lumayanlah.