Seandainya Homerie Harus Pindah Negara
Belakangan ini, di medsos, banyak orang Indonesia ingin pindah negara. Entah karena apa. Di kalangan selebritas, yang sudah mantap pindah sekeluarga, antara lain keluarga Tengku Firmansyah-Cindy Fatikasari (ke Kanada) dan keluarga Oki Setiana Dewi (ke Mesir). Kalau non-artis, sudah tidak terhitung lagi.
Sepertinya, seru juga untuk membayangkan kita pindah negara, ya, Ayah-Bunda! Hm, seandainya Homerie memperoleh kesempatan itu, kira-kira negara-negara seperti apa yang diincar?
7 Kriteria Negara Dambaan Kalau Harus Pindah Negara
Namun, sebelum menjawab pertanyaan di atas, disclaimer dahulu, ya:
- Ini hanya seandainya. Jangan dianggap kami benar-benar mau pindah. Namun, opsi itu tentu selalu terbuka. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi ke depan.
- Pindah negara tidak harus pindah kewarganegaraan. Umumnya, kita pindah untuk urusan studi, pekerjaan, menjadi digital nomad, atau sekadar berwisata. Toh, kita tetap bisa bertahun-tahun di luar negeri, tanpa harus melepas kewarganegaraan Indonesia. Misalnya, dengan mengurus status permanent resident.
Oke, sekarang, mari kita jawab. Setelah berdiskusi antara Yayah, Bunda, Ara, dan Kira, kami mendapatkan lima kriteria negara yang (sepertinya) cocok bagi Keluarga Kecil Homerie.
1. Negara Maju
Harus, dong! Apa gunanya pindah ke negara yang tidak lebih maju dari Indonesia? Pandangan kami tentang negara maju tidak muluk-muluk, cukup seperti ini:
- Biaya kesehatan dan pendidikan (sampai perguruan tinggi) gratis.
- Transportasi publiknya memadai dan murah, kalau bisa gratis juga, sehingga orang tidak perlu memiliki kendaraan pribadi untuk ke sana-kemari.
- Birokrasinya simpel, mudah, dan tegas. Sehingga, tidak ada permainan aparatur negara, tidak perlu suap-menyuap untuk melicinkan suatu urusan.
- Literasi warganya tinggi. Orang-orangnya suka membaca, sehingga kami yang berprofesi penulis akan dihargai di sana. Dengan literasi tinggi, kemungkinan besar warganya lebih logis, baik untuk urusan berat seperti politik, sampai urusan ringan seperti memilih jenis hiburan.
- Sudah terbentuk kebiasaan tertib dan empatik, seperti antre, (pengendara) menghargai pejalan kaki, tidak membuang sampah sembarangan, tidak merokok di tempat umum, dan hal-hal lain yang sebenarnya sepele tetapi tergolong “luar biasa” di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
2. Angka Kriminalitasnya Rendah
Terkadang, negara maju juga memiliki angka kriminalitas tinggi. Ini ngeri-ngeri sedap, sih, Ayah-Bunda! Terlalu menantang. Sementara, kami lebih suka hidup tenang.
Bayangkan, hidup di negara yang aman dari perampokan, penodongan, pelecehan, perundungan, intimidasi, bersih dari pungutan liar (pungli), korupsi, kolusi, nepotisme, dan lain-lain. Sungguh menenangkan, bukan?
Bukan hanya masyarakatnya tidak melakukan semua kejahatan itu, tetapi negaranya juga. Bahkan, negara hadir secara aktif untuk memastikan aksi-aksi kriminal tersebut tidak pernah terjadi.
Sebenarnya, angka kriminalitas tinggi juga akibat dari banyaknya pengangguran di negara itu. Jika itu terjadi, artinya negara gagal dalam memberi pekerjaan atau meningkatkan SDM masyarakatnya.
Bila di sebuah negara terdapat banyak profesi survival seperti pengemis, pengamen, calo, atau tukang parkir (liar), wah, sepertinya itulah salah satu tanda-tandanya.
3. Di Kawasan Tropis, Subtropis, atau Sedang
Meskipun Bunda berasal dari Cicalengka, Bandung, wilayah yang lumayan dingin, tetapi pada dasarnya kami tidak terlalu suka menggigil sepanjang waktu.
Makanya, jika pun harus pindah, jangan sampai tujuannya ke negara yang beriklim dingin, apalagi kutub. Paling jauh, negara-negara beriklim sedang, deh!
Memilih letak geografis bukan hanya berdampak pada dingin atau hangatnya suhu harian, tetapi juga durasi ibadah puasa. Ini penting sebagai muslim seperti kami.
Bayangkan, kalau dari matahari terbit sampai tenggelam perlu waktu 20 jam di negara itu saat Ramadan, sepanjang itulah kita harus berpuasa. Bisa lemas! Hehehe…
4. Bahasanya Melayu, Inggris, atau Prancis
Bukan berarti kami lancar berbahasa Inggris, Prancis, dan Melayu. Setidaknya, ketiganya tidaklah terlalu asing di telinga kami. Sehingga, kalaupun harus segera bisa (karena tuntutan pemerintah setempat, misalnya), kami takkan mulai mempelajarinya dari nol.
Kalau terpaksa, negara-negara berbahasa Arab juga boleh. Kalau terpaksa, ya. Sebab, bahasa Arab kami minim sekali. Hanya familier dengan istilah-istilah yang bersentuhan dengan ritual ibadah.
5. Tidak Anti-Islam
Negara tujuan kami harus tidak memendam kebencian terselubung terhadap Islam, tidak memandang aneh (apalagi mencurigai) orang berhijab, menghargai hak-hak setiap orang untuk beribadah (salat, puasa, dll.), open minded (paham dan menghargai prinsip orang yang tidak boleh makan babi, minum alkohol, dan sebagainya).
Yang lucu, negara demokrasi pun terkadang tidak seimbang dalam memandang nilai-nilai Islam. Atau merasa bahwa prinsip-prinsipnya lebih benar dan memaksa orang lain agar menjalani kehidupan ala mereka. Padahal, harusnya, selama keyakinan itu tidak merugikan orang lain, biarkan saja.
Katanya demokrasi? Katanya menghargai perbedaan? Kok, seperti anti dengan Islam?
Nah, daripada kami harus mengorbankan agama atau berdebat terus sepanjang waktu (dengan orang-orang yang ngakunya demokratis padahal rasis) di negara-negara semacam itu, lebih baik kami menjauh saja sekalian.
6. Negaranya Tidak Suka Perang
Ada, lo, negara yang suka perang dan seperti vampir yang haus darah. Mentang-mentang maju, besar, dan militernya kuat, negara itu tidak segan-segan menggunakan pendekatan senjata ketika berkonflik. Betapa tidak nyamannya berada dalam negara seperti itu.
Untuk spesifiknya, kami cukup melihat apakah negara itu tergabung secara aktif dengan “geng-geng” militer. Misalnya, NATO.
Kami tidak suka geng-gengan, baik dalam arti sebenarnya maupun kiasan. Apa gunanya negara maju, kalau tersinggung sedikit sudah teriak “perang”, teman satu gengnya disenggol tipis-tipis sudah mengokang senjata.
Dari Perang Rusia-Ukraina, kita belajar, geng-gengan itu ujung-ujungnya hanya akan membakar uang negara dan menciptakan krisis ekonomi, sekaya apapun negara yang terlibat. Bahkan, dampaknya bisa memicu Perang Dunia III.
Apa tidak mengerikan berada di negara yang pentolan-pentolannya saling mengancam (perang nuklir)?
7. Negara Introver
Jangankan perang, berisik saja kami terganggu. Sebagai keluarga introver, kami menikmati suasana tenang.
Yayah pernah menonton video di TikTok yang menceritakan betapa Norwegia adalah surga bagi para introver. Orang-orangnya tidak suka heboh-heboh. Bertemu tetangga di jalan, cukup tersenyum. Tidak tersenyum pun tidak masalah. Takkan ada yang tersinggung atau mengecap sombong.
Orang-orangnya baik, enak ketika diajak mengobrol, tetapi cuek dan fokus ke masalah masing-masing. Bukannya malah kepo, sok menasihati (padahal tidak diminta), atau mengatur-atur kehidupan orang lain.
Tidak ikut arisan, kawinan, tahlilan, study tour, kerja bakti mingguan, gabung grup WA ini-itu yang berisik, rapat komite-komite apalah di sekolah, tidak masalah. Di rumah saja, tidak akan digunjingkan.
Ah, sayangnya, Norwegia tidak memenuhi kriteria ketiga kami. Negaranya dingin…. brrrr!!
Sayangnya, Pindah Negara Tidak Semudah Itu
Itu tadi 5 kriteria yang menjadi jujukan Keluarga Kecil Homerie jika harus pindah negara. Selain lima kriteria itu, rasanya akan bisa kami toleransi.
Pajak tidak semurah Indonesia? Negaranya kecil? Penduduknya hanya segelintir? Kekuatan militernya lemah? Kekayaan budayanya minim alias tidak bhineka? Hasil alamnya sedikit? Pemandangan alamnya terbatas? Penduduknya tidak ramah? Tidak punya budaya gotong royong?
Semua nilai-nilai khas Asia (Asian value) itu bukan lagi masalah bagi kami. Asalkan, kelima kriteria di atas terpenuhi, ayolah. Kami siap mengepak koper.
Meskipun, tentu saja, pindah negara itu tidak semudah membalik telapak tangan. Prosesnya sulit dan panjang. Selain itu, juga perlu dana besar. Terkadang, juga perlu kenalan di negara yang dituju. Sulit sekali! Tetapi bukan berarti mustahil.